Angka Kematian Bayi
pasca proses melahirkan di Indonesia masih tergolong tinggi, menurut data yang
diperoleh penulis melalui situs Kompas tanggal 12 November 2012, dperkirakan
tak kurang dari 9.500 ibu meninggal saat melahirkan serta 157.000 bayi dan
200.000 anak balita meninggal setiap tahun. Hal ini telah dipertegas pula oleh
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) sebagaimana yang
dilansir dalam situs Suara Merdeka tanggal 6 Juni 2012 bahwa berdasarkan data
yang dimiliki kementerian ini, jumlah bayi yang meninggal di Indonesia mencapai
34 kasus per 1.000 kelahiran.
Tingginya angka
kematian bayi pasca melahirkan tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor di
mana salah satunya adalah faktor kemiskinan, tingginya biaya rumah sakit, serta
kurangnya pelayanan rumah sakit dalam memperhatikan pasien khususnya bagi
golongan masyarakat kurang mampu.
Jumlah penduduk
Indonesia saat ini telah mencapai angka 255.587.718 Jiwa dan berdasarkan data
yang dikemukakan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui situs Antara
News tertanggal 2 Januari 2013, jumlah penduduk miskin per September 2012
mencapai angka 28, 59 Juta orang atau mencapai 11,66 % dari jumlah penduduk.
Berdasarkan data-data
tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai tingginya angka
kematian bayi khususnya dikaitkan dengan pelayanan rumah sakit terhadap
masyarakat kurang mampu dalam sudut pandang hukum.
BAYI
DALAM SUDUT PANDANG UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
Pada Tanggal 22 Oktober
2002, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Tujuan dari dibentuknya UU ini sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 3 yaitu :
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.
Anak berdasarkan
Pasal 1 angka ke-1 UU Perlindungan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan bunyi
pasal tersebut di atas, maka bayi baik bayi yang telah dlahirkan maupun yang
masih di dalam kandungan termasuk dalam kategori anak yang diberikan
perlindungan secara yuridis di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Anak memiliki
hak-hak yang diatur secara khusus di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak di mana hal ini dilakukan guna menjamin setiap anak di
Indonesia dapat terlindungi hak-haknya yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Adapun hak-hak anak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 mencakup :
- hak untuk dapat hidup
- hak untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
- hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
- hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
- hak untuk beribadah menurut agamanya
- hak untuk berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya.
- hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri
- hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
- hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
- hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
- hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
- hak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
- hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan.
- hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
- Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
- Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.
- Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.
- Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
- Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bunyi ketentuan Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
tersebut di atas khususnya pada ayat (3) dan (4) tentu tidak dapat ditafsirkan
lain bahwa setiap anak (dalam hal ini termasuk bayi) memiliki hak yang sama
dihadapan hukum dan tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif khususnya
anak dari golongan tidak mampu. Perlakuan yang bersifat diskriminatif terutama
terkait dengan kesehatan anak merupakan suatu pelanggaran atas hak anak yang
telah diatur secara tegas di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
bagi setiap orang yang melakukannya di mana kategori setiap orang dalam hal ini
termasuk pula suatu korporasi. Keselamatan dan kesehatan seorang anak merupakan
prioritas utama dibandingkan dengan hal lainnya diluar itu. Seringkali penyedia
jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini rumah sakit mengabaikan keselamatan
dan kesehatan anak hanya dikarenakan ketidakmampuan orang tua anak dalam hal
biaya pengobatan maupun dikarenakan proses administrasi. Minimnya perhatian
rumah sakit terhadap anak dari golongan tidak mampu bahkan keengganan dalam
mengambil tindakan medis yang diperlukan untuk keselamatan dan kesehatan anak dapat
berakibat pada terjadinya kematian bagi anak yang membutuhkan pertolongan medis
dan hal ini tentu merupakan suatu pelanggaran hukum yang jelas dan merupakan
suatu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit tersebut sebagaimana Pasal
77 Jo. Pasal 90 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan
:
Pasal 77
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. diskriminasi
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik
fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 90
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
- Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BAYI DARI
GOLONGAN TIDAK MAMPU BERDASARKAN UU NO. 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT
Di dalam
Konsideran UU No. 44 Tahun 2009 point a tentang Rumah Sakit yang disahkan pada
tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan :
“Bahwapelayanan
kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.”
Rumah sakit
merupakan Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat. Sebagai institusi penyelenggara pelayanan
kesehatan, tentu bukanlah hal yang mudah dalam menjalankan tugas dan kewajiban
yang diemban rumah sakit terutama dikarenakan berkaitan dengan keselamatan dan
kesehatan masyarakat.
UU No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit bukan saja merupakan suatu bentuk landasan yuridis
bagi pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, melainkan pula menjadi landasan
bagi rumah sakit dalam menjalankan misi kemanusiaan yang diembannya. Hal ini
tersirat di dalam Pasal 2 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
menyebutkan :
“Rumah Sakit
diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan,
etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti
diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai
fungsi sosial.”
Asas-asas
fundamental yang terkandung di dalam isi ketentuan pasal tersebut di atas telah
menunjukan begitu mulianya tugas dan kewajiban dari rumah sakit sebagai
instansi penyelenggara pelayanan kesehatan. Namun apakah benar hal ini telah
dilakukan secara konsisten oleh Rumah Sakit?
Munculnya berbagai
keluhan di masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit yang begitu minim terutama
terhadap pasien dari golongan tidak mampu, baik itu permasalahan administrasi
yang begitu menyulitkan, biaya pengobatan yang begitu tidak terjangkau oleh
masyarakat, standar pelayanan yang kurang baik, bahkan sampai pada arah
pengobatan yang tidak transparan, telah menimbulkan berkurangnya rasa
kepercayaan masyarakat terahadap pelayanan kesehatan yang diberikan rumah
sakit.
Hal-hal tersebut
di atas tentu sangatlah jauh dari tujuan penyelenggaran pelayanan kesehatan
yang diberikan rumah sakit sebagaimana di atur dalam Pasal 3 UU No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan :
“Pengaturan
penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
- mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
- memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
- meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
- memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Rumah sakit pada
dasarnya terdiri dari 2 golongan yaitu :
- Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah;
- Rumah Sakit yang didirikan swasta.
Meskipun rumah
sakit terdiri dari 2 golongan tersebut di atas, namun mengenai kewajibannya
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tanpa adanya suatu diskriminasi. Hal
ini berlaku pula bagi rumah sakit privat sebagai golongan dari rumah sakit yang
didirikan swasta. Rumah sakit privat menurut Pasal 21 UU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit yaitu :
“Rumah Sakit
privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.”
Hal tersebut di
atas berkaitan dengan Kewajiban bagi rumah sakit sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan :
- Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :
a.
memberikan
informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
b. memberi
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
c. memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
d. berperan
aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan
pelayanannya;
e. menyediakan
sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
f. melaksanakan
fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin,
pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana
dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. membuat,
melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai
acuan dalam melayani pasien;
h.
menyelenggarakan
rekam medis;
i. menyediakan
sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu,
sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j.
melaksanakan
sistem rujukan;
k. menolak
keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
peraturan perundang-undangan;
l.
memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
m.
menghormati dan
melindungi hak-hak pasien;
n.
melaksanakan
etika Rumah Sakit;
o. memiliki
sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;melaksanakan program
pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional;
p. membuat
daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan
tenaga kesehatan lainnya;
q.
menyusun
dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws);
r. melindungi
dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan
tugas; dan
s.
memberlakukan
seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
Berbagai kewajiban
yang dimiliki oleh Rumah Sakit tersebut di atas telah sesuai pula dengan apa yang menjadi hak dari pasien dari rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 32
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan :
“Setiap pasien
mempunyai hak:
a. memperoleh
informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
b. memperoleh
informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. memperoleh
layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d. memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
e. memperoleh
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi;
f. mengajukan
pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. memilih
dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
h. meminta
konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat
Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya;
j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan;
k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di Rumah Sakit;
o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianutnya;
q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Terhadap rumah sakit yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana di amanatkan dalam UU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit tersebut di atas dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 ayat (2) Jo. Pasal 27 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
yaitu sanksi adinsitratif berupa :
a. teguran;
b. teguran
tertulis; atau
c. denda
dan pencabutan izin Rumah Sakit.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di
atas, dengan melihat adanya kewajiban dari rumah sakit sebagai instansi
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan maksimal terhadap
pasien tanpa adanya diskriminasi serta hak-hak pasien khususnya golongan tidak mampu
yang harus dilindungi oleh Rumah Sakit, maka terhadap setiap bayi yang
dilahirkan dalam keadaan kurang baik dari masyarakat miskin haruslah tetap
diperhatikan kebutuhan dan keselamatan jiwanya dengan menjalankan fungsi sosial
dan fungsi kemanusiaan dari rumah sakit sebagaimana amanat undang-undang rumah
sakit serta memberikan perlindungan kesehatan bagi anak sebagaimana diamanatkan
oleh undang-undang perlindungan anak, dan jika hal tersebut tidak dilakukan
maka akan menimbulkan sanksi yang tegas sebagaimana diatur di dalam kedua
peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Namun demikian, diperlukan pula pemantauan dari masyarakat dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan rumah sakit khususnya terhadap bayi dari golongan masyarakat miskin sehingga angka kematian bayi dapat diminimalisir serta jaminan akan hak-hak anak yang melekat pada diri bayi tersebut terjamin pelaksanaannya. Di samping itu, perlu sikap tegas dari pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menindak segala tindakan yang dilakukan rumah sakit dalam hal penelantaraan kesehatan dan keselamatan jiwa dari bayi yang baru dilahirkan, sehingga diharapkan hak asasi anak Indonesia semenjak ia dilahirkan adalah dijamin dan terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak terjadi lagi berbagai peristiwa kematian bayi akibat tidak dilaksanakannya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kepentingan terbaik untuk anak (bayi) dikemudian hari.
Namun demikian, diperlukan pula pemantauan dari masyarakat dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan rumah sakit khususnya terhadap bayi dari golongan masyarakat miskin sehingga angka kematian bayi dapat diminimalisir serta jaminan akan hak-hak anak yang melekat pada diri bayi tersebut terjamin pelaksanaannya. Di samping itu, perlu sikap tegas dari pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menindak segala tindakan yang dilakukan rumah sakit dalam hal penelantaraan kesehatan dan keselamatan jiwa dari bayi yang baru dilahirkan, sehingga diharapkan hak asasi anak Indonesia semenjak ia dilahirkan adalah dijamin dan terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak terjadi lagi berbagai peristiwa kematian bayi akibat tidak dilaksanakannya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kepentingan terbaik untuk anak (bayi) dikemudian hari.
21 Okt 2013
Ardi Andrian, S.H., M.H.