Rabu, 20 Februari 2013

KRITISASI PELAYANAN MEDIK RUMAH SAKIT TERHADAP BAYI DARI GOLONGAN KELUARGA TIDAK MAMPU DALAM SUDUT PANDANG UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN UU NO. 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT.


Angka Kematian Bayi pasca proses melahirkan di Indonesia masih tergolong tinggi, menurut data yang diperoleh penulis melalui situs Kompas tanggal 12 November 2012, dperkirakan tak kurang dari 9.500 ibu meninggal saat melahirkan serta 157.000 bayi dan 200.000 anak balita meninggal setiap tahun. Hal ini telah dipertegas pula oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) sebagaimana yang dilansir dalam situs Suara Merdeka tanggal 6 Juni 2012 bahwa berdasarkan data yang dimiliki kementerian ini, jumlah bayi yang meninggal di Indonesia mencapai 34 kasus per 1.000 kelahiran.

Tingginya angka kematian bayi pasca melahirkan tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor di mana salah satunya adalah faktor kemiskinan, tingginya biaya rumah sakit, serta kurangnya pelayanan rumah sakit dalam memperhatikan pasien khususnya bagi golongan masyarakat kurang mampu.

Jumlah penduduk Indonesia saat ini telah mencapai angka 255.587.718 Jiwa dan berdasarkan data yang dikemukakan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui situs Antara News tertanggal 2 Januari 2013, jumlah penduduk miskin per September 2012 mencapai angka 28, 59 Juta orang atau mencapai 11,66 % dari jumlah penduduk.

Berdasarkan data-data tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai tingginya angka kematian bayi khususnya dikaitkan dengan pelayanan rumah sakit terhadap masyarakat kurang mampu dalam sudut pandang hukum. 

BAYI DALAM SUDUT PANDANG UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

Pada Tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tujuan dari dibentuknya UU ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 yaitu : 

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.

Anak berdasarkan Pasal 1 angka ke-1 UU Perlindungan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka bayi baik bayi yang telah dlahirkan maupun yang masih di dalam kandungan termasuk dalam kategori anak yang diberikan perlindungan secara yuridis di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Anak memiliki hak-hak yang diatur secara khusus di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di mana hal ini dilakukan guna menjamin setiap anak di Indonesia dapat terlindungi hak-haknya yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Adapun hak-hak anak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 mencakup :
  1. hak untuk dapat hidup
  2. hak untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
  3. hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  4. hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
  5. hak untuk beribadah menurut agamanya
  6. hak untuk berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya.
  7. hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri
  8. hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
  9. hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
  10. hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
  11. hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
  12. hak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
  13. hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan.
  14. hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 
Selanjutnya di dalam penulisan ini yang menjadi fokus utama dalam pembahasannya adalah mengenai pelayanan kesehatan khususnya terhadap bayi dari golongan tidak mampu yang secara khusus hal ini disebutkan di dalam Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut :
  1. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
  2. Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.
  3. Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.
  4. Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
  5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bunyi ketentuan Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut di atas khususnya pada ayat (3) dan (4) tentu tidak dapat ditafsirkan lain bahwa setiap anak (dalam hal ini termasuk bayi) memiliki hak yang sama dihadapan hukum dan tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif khususnya anak dari golongan tidak mampu. Perlakuan yang bersifat diskriminatif terutama terkait dengan kesehatan anak merupakan suatu pelanggaran atas hak anak yang telah diatur secara tegas di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bagi setiap orang yang melakukannya di mana kategori setiap orang dalam hal ini termasuk pula suatu korporasi. Keselamatan dan kesehatan seorang anak merupakan prioritas utama dibandingkan dengan hal lainnya diluar itu. Seringkali penyedia jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini rumah sakit mengabaikan keselamatan dan kesehatan anak hanya dikarenakan ketidakmampuan orang tua anak dalam hal biaya pengobatan maupun dikarenakan proses administrasi. Minimnya perhatian rumah sakit terhadap anak dari golongan tidak mampu bahkan keengganan dalam mengambil tindakan medis yang diperlukan untuk keselamatan dan kesehatan anak dapat berakibat pada terjadinya kematian bagi anak yang membutuhkan pertolongan medis dan hal ini tentu merupakan suatu pelanggaran hukum yang jelas dan merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit tersebut sebagaimana Pasal 77 Jo. Pasal 90 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan :

Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 90
  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
  2. Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BAYI DARI GOLONGAN TIDAK MAMPU BERDASARKAN UU NO. 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT

Di dalam Konsideran UU No. 44 Tahun 2009 point a tentang Rumah Sakit yang disahkan pada tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan :
“Bahwapelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.”

Rumah sakit merupakan Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Sebagai institusi penyelenggara pelayanan kesehatan, tentu bukanlah hal yang mudah dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diemban rumah sakit terutama dikarenakan berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan masyarakat.

UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bukan saja merupakan suatu bentuk landasan yuridis bagi pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, melainkan pula menjadi landasan bagi rumah sakit dalam menjalankan misi kemanusiaan yang diembannya. Hal ini tersirat di dalam Pasal 2 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan :
“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.”

Asas-asas fundamental yang terkandung di dalam isi ketentuan pasal tersebut di atas telah menunjukan begitu mulianya tugas dan kewajiban dari rumah sakit sebagai instansi penyelenggara pelayanan kesehatan. Namun apakah benar hal ini telah dilakukan secara konsisten oleh Rumah Sakit?

Munculnya berbagai keluhan di masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit yang begitu minim terutama terhadap pasien dari golongan tidak mampu, baik itu permasalahan administrasi yang begitu menyulitkan, biaya pengobatan yang begitu tidak terjangkau oleh masyarakat, standar pelayanan yang kurang baik, bahkan sampai pada arah pengobatan yang tidak transparan, telah menimbulkan berkurangnya rasa kepercayaan masyarakat terahadap pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit.

Hal-hal tersebut di atas tentu sangatlah jauh dari tujuan penyelenggaran pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit sebagaimana di atur dalam Pasal 3 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan :

“Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
  1. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
  2. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
  3. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
  4. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Rumah sakit pada dasarnya terdiri dari 2 golongan yaitu :
  1. Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah;
  2. Rumah Sakit yang didirikan swasta.
Meskipun rumah sakit terdiri dari 2 golongan tersebut di atas, namun mengenai kewajibannya dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tanpa adanya suatu diskriminasi. Hal ini berlaku pula bagi rumah sakit privat sebagai golongan dari rumah sakit yang didirikan swasta. Rumah sakit privat menurut Pasal 21 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu :
“Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.”

Hal tersebut di atas berkaitan dengan Kewajiban bagi rumah sakit sebagaimana tercantum di dalam Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan :
  1. Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :

a.       memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
b.  memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
c.  memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
d.   berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e.     menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
f.     melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g.   membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h.      menyelenggarakan rekam medis;
i.    menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j.        melaksanakan sistem rujukan;
k.   menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan;
l.        memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
m.    menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
n.      melaksanakan etika Rumah Sakit;
o.   memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional;
p.   membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
q.      menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws);
r.  melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
s.       memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.

Berbagai kewajiban yang dimiliki oleh Rumah Sakit tersebut di atas telah sesuai pula dengan apa yang menjadi hak dari pasien dari rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan : 
“Setiap pasien mempunyai hak:
a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;
j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;
o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terhadap rumah sakit yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana di amanatkan dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tersebut di atas dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Jo. Pasal 27 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu sanksi adinsitratif berupa :
a.  teguran;
b. teguran tertulis; atau
c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.

     Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan melihat adanya kewajiban dari rumah sakit sebagai instansi penyelenggara pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan maksimal terhadap pasien tanpa adanya diskriminasi serta hak-hak pasien khususnya golongan tidak mampu yang harus dilindungi oleh Rumah Sakit, maka terhadap setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan kurang baik dari masyarakat miskin haruslah tetap diperhatikan kebutuhan dan keselamatan jiwanya dengan menjalankan fungsi sosial dan fungsi kemanusiaan dari rumah sakit sebagaimana amanat undang-undang rumah sakit serta memberikan perlindungan kesehatan bagi anak sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang perlindungan anak, dan jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan menimbulkan sanksi yang tegas sebagaimana diatur di dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut di atas.

Namun demikian, diperlukan pula pemantauan dari masyarakat dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan rumah sakit khususnya terhadap bayi dari golongan masyarakat miskin sehingga angka kematian bayi dapat diminimalisir serta jaminan akan hak-hak anak yang melekat pada diri bayi tersebut terjamin pelaksanaannya. Di samping itu, perlu sikap tegas dari pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menindak segala tindakan yang dilakukan rumah sakit dalam hal penelantaraan kesehatan dan keselamatan jiwa dari bayi yang baru dilahirkan, sehingga diharapkan hak asasi anak Indonesia semenjak ia dilahirkan adalah dijamin dan terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak terjadi lagi berbagai peristiwa kematian bayi akibat tidak dilaksanakannya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kepentingan terbaik untuk anak (bayi) dikemudian hari.


21 Okt 2013

Ardi Andrian, S.H., M.H.














Senin, 18 Februari 2013

SYARAT SAH PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS


Sebagai salah satu faktor pendorong dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi khususnya masyarakat, perseroan selaku roda penggerak perekonomian tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum yang berasaskan pada kepastian hukum dan berkeadilan mengingat begitu besarnya peranan suatu perseroan dalam meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat.

Indonesia sebagai negara hukum yang melandaskan hukumnya pada suatu hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan telah mengesahkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1997 tentang Perseroan Terbatas sebagai landasan serta acuan yuridis terhadap eksistensi perseroan khususnya perseroan terbatas dalam menjalankan kegiatannya di Indonesia.

Di dalam tulisan singkat ini saya akan mencoba untuk sedikit mendeskripsikan bagaimana aspek legal/yuridis yang diperlukan sebagai syarat dalam pembentukan/pendirian suatu Perseroan dengan sudut tinjuan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Pendirian suatu Perseroan Terbatas memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi dan bersifat kumulatif sebagai kewajiban yang diatur di dalam undang-undang guna memperoleh legalitas sebagai badan hukum dan dapat menjalankan kegiatan usahanya. Adapun syarat sah yang harus dipenuhi tersebut adalah :

a.    Didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih

Sifat utama dari suatu perseroan terbatas yang tersirat di dalam syarat ini adalah bahwa perseroan terbatas merupakan suatu perkumpulan atau persekutuan yang tidak dapat digerakan ataupun didirikan oleh hanya satu orang saja. Hal ini secara tegas disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Syarat ini berkaitan erat dengan dasar dari pembentukan suatu Perseroan Terbatas yaitu adanya suatu “perjanjian” yang mengikat diantara para pihak pendiri yang tergabung di dalam perseroan terbatas di maksud berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata.

b.    Akta Pendirian berbentuk Akta Notaris

Di dalam pendirian suatu perseroan terbatas, diperlukan suatu akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akta pendirian yang dibuat Notaris tersebut bukan saja sebagai syarat mutlak dalam pendirian perseroan terbatas melainkan pula sebagai suatu alat bukti dibentuknya/ didirikannya suatu perseroan terbatas yang didasarkan oleh perjanjian yang sah dan berkekuatan hukum.
Adapun hal-hal yang perlu untuk dimuat di dalam akta pendirian tersebut antara lain :
1)      Memuat Anggaran Dasar dari Perseroan Terbatas yang telah disepakati oleh para pendiri;
2)      Di samping Anggaran Dasar tersebut di atas, juga diperlukan keterangan-keterangan lain dari Perseroan Terbatas yang akan didirikan antara lain melingkupi : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahaan badan hukum dari pendiri perseroan.

c.    Setiap Pendiri Wajib Mengambil Bagian Saham

Syarat selanjutnya yang ditentukan oleh UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah bahwa pada saat para pendiri menghadap ke hadapan Notaris untuk dibuatkan Akta Pendirian, setiap pendiri tersebut sudah mengambil bagian saham Perseroan. Hal ini dikarenakan pada Pasal 8 ayat (1) huruf c UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa di dalam Akta Pendirian memuat pula tentang nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor. Berkaitan dengan hal tersebut, akan menjadi tidak sah akta pendirian jika bagian saham baru diambil oleh pendiri perseoran setelah perseroan tersebut didirikan.

d.   Memperoleh keputusan pengesahan status badan hukum dari Menteri.

Pasal 7 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan :

“perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan.”

Pengesahan melalui suatu Keputusan Menteri ini merupakan syarat sah yang harus dipenuhi di samping syarat sah lainnya yang telah disebutkan di atas. Adapun mengenai tata cara dalam permohonan pengajuan pengesahan status badan hukum tersebut di atur di dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas, Bab II Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-01-HT.01-10 Tahun 2007. 

Sumber Bacaan : 
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Kamis, 07 Februari 2013

Andrian Atmadja & Partner Law Firm

Aspek hukum saat ini telah menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat, baik dalam bidang politik, perekonomian, industri, dan sosial. Keberadaan hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan merupakan landasan legalitas dari suatu kegiatan yang dilaksanakan dalam berbagai bidang tersebut. kebutuhan akan pengetahuan hukum baik dari segi praktis maupun teoritis pada akhirnya menjadi kebutuhan utama bagi setiap orang maupun badan hukum/ badan usaha dalam menjalankan aktifitasnya, sehingga diharapkan aktifitas tersebut dilaksanakan sesuai dengan berbagai peraturan hukum yang ada.

Praktisi hukum khususnya Advokat merupakan suatu lembaga aparatur penegak hukum yang bebas, mandiri, serta berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dengan konsentrasi bidang yaitu memberikan jasa hukum yang dilakukan baik di dalam sistem peradilan (Litigasi) maupun di luar sistem peradilan (Non-Litigasi).

Jasa hukum yang diberikan oleh Advokat baik dalam tatanan Litigasi maupun Non-Litigasi dilakukan dengan memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Urgensi akan jasa hukum yang diberikan oleh seorang Advokat untuk melindungi kegiatan yang dilaksanakan orang perorangan maupun badan hukum/ badan usaha baik dalam bidang politik, ekonomi, industri maupun sosial bertujuan agar berbagai kegiatan tersebut dapat terlaksana sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada sehingga dapat meminimalisir resiko akan konflik hukum yang terjadi.

Andrian Atmada & Partner Law Firm  yang didirikan pada 7 Juni 2010 merupakan Kantor Hukum yang dibentuk oleh para praktisi hukum yang ahli dan profesional dalam menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan aspek hukum baik dalam tataran litigasi maupun non-litigasi. Dengan berbekal para Advokat muda yang telah teruji pengalamannya dalam menjalankan praktek hukum pada berbagai perkara yang telah ditangani dalam bidang antara lain, Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Perbankan, Perusahan, Hak Kekayaan Intelektual, Penanaman Modal Asing, Kepailitan, Pertanahan, Asuransi, Pasar Modal, Imigrasi, Perpajakan, Perkawinan, Warisan, Pedagangan, Ketenagakerjaan, Yayasan, maupun Pemerintahan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, Atmadja Andrian & Partner telah menjadi kantor hukum yang sangat kompeten dalam menjalankan berbagai kegiatan dalam ruang lingkup dunia Advokat.

Adapun para Advokat yang tergabung di dalam Andrian Atmadja & Partner Law Firm yaitu :
1. Ardi Andrian, S.H., M.H.
2. Patriana Purwa Atmadja, S.H.
3. Rosa Tedjabuwana, S.H.
4. Rizal Aritmafitroh, S.H.

PROFILE ATMADJA ANDRIAN & Partner Advocate & Legal Consultant
Nama                               : Atmadja Andrian & Partner Advocate & Legal Consultant;
Alamat                             : Jl. Iris Garden Kavling 86 No. 19 Resor Dago Pakar Cluster Spring Hills, Bandung;
Telepon                           : 08568838158/ 081221608326  ;
Email                               : Atmadja.andrian@yahoo.com
Bidang Usaha                  : Advokat & Konsultan Hukum;
Dibentuk                          : 07 Juni 2010;

Rabu, 06 Februari 2013

Persamaan Kedudukan Dihadapan Hukum (Equality Before The Law)

"All human beings are born free and equal in dignity and rights. they are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood."


(setiap orang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan hak-hak yang sama. mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan).

Isi pasal 1 Universal Declaration of Human Rights tersebut di atas, sengaja dikutip oleh penulis untuk mengawali tulisan ini. pemaknaan terhadap Hak Asasi Manusia sebagaimana tersirat dalam kandungan pasal tersebut memiliki kedalaman jiwa dan semangat persamaan hak sesama manusia secara filosofis, historis, sosiologis dan yuridis guna menciptakan keseragaman pandangan terhadap arti penting Hak Asasi Manusia.

UDHR yang merupakan suatu intrumen hukum internasional tersebut dalam pencerminan kepribadian bangsa Indonesia telah pula terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV BAB XA tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV secara eksplisit menyebutkan :
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum"

pada bagian akhir kalimat tersebut disebutkan dengan jelas adanya "perlakuan yang sama dihadapan hukum" di mana dalam penerapan hukum pidana Indonesia hal tersebut dikenal dengan asas "equality before the law". secara terminologis dapat diartikan bahwa penerapan hukum berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakannya baik dalam sudut pandang stratifikasi maupun diferensiasi sosial apapun. 

Pemaknaan mengenai equlity before the law ini sendiri secara filosofis telah tercermin dari perwujudan sosok dewi Themis dalam mitologi Yunani kuno atau yang dikenal dalam peradaban romawi sebagai dewi justitia (dewi keadilan). dalam perwujudan sosok tersebut digambarkan seorang dewi dengan mata tertutup yang bermakna bahwa hukum tidak membeda-bedakan setiap orang.

sebagai manifestasi dari prinsip dalam asas persamaan di hadapan hukum tersebut, terhadap setiap orang haruslah dianggap tidak bersalah sebelum adanya suatu Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijds) yang kemudian asas ini dikenal sebagai asas praduga tidak bersalah (presemption of innocent).

setiap orang yang berhadapan dengan hukum haruslah memiliki kesamaan di hadapan hukum, diperlakukan adil, dihargai hak-haknya, serta diperlakukan sebagai seorang yang merdeka dengan berdasar pada asas praduga tidak bersalah. terhadap setiap orang yang berhadapan dengan hukum tersebut haruslah memperoleh suatu putusan yang mencerminkan keadilan dan kepastian hukum dengan didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan serta didasari pula oleh bukti-bukti yang dihadirkan di hadapan persidangan.

salah satu bentuk jaminan atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 54 diatur mengenai bantuan hukum oleh Penasehat Hukum terhadap seorang tersangka maupun terdakwa yang diduga melakukan suatu tindak pidana.

namun demikian perolehan bantuan hukum terhadap seorang tersangka ataupun terdakwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana masih menunjukan ketidakadilannya hal ini tersirat jelas dalam Pasal 56 UU No. 8 Tahun 1981 yang menyebutkan :
"(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. 
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma."

jika ditinjau isi pasal tersebut, terlihat terdapatnya syarat khusus bagi seorang Tersangka atau Terdakwa yang tidak mampu menyediakan penasehat hukum sendiri dalam memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo) yang ditunjuk oleh pejabat dalam lingkup peradilan pidana yaitu "yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih"

seperti telah kita ketahui sebelumnya dan dapat ditelusuri baik di dalam KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP masih terdapat begitu banyak perbuatan pidana yang ancaman pidananya masih di bawah lima tahun, sebagai contoh ialah tindak pidana pemerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP Buku II tentang Kejahatan yang ancaman pidananya adalah paling lama 9 bulan. 

sudah sepatutnya perihal bantuan hukum terutama bagi orang-orang yang tidak mampu untuk menyediakan jasa bantuan hukum dari seorang penasehat hukum untuk dilindungi haknya dalam mendapatkan bantuan hukum tersebut dengan cara disediakan oleh pejabat dalam lingkup sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, sebagai bentuk implementasi persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sehingga jangan sampai terjadi suatu hal yang bersifat diskriminatif terutama bagi orang-orang yang tidak mampu untuk memperoleh akses dalam pencapaian hukum yang berkeadilan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dengan dilandasi hukum yang diperlakukan sama terhadap setiap orang dan jaminan terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga supremasi hukum di Indonesia dapat berkembang ke arah yang lebih baik.

07 February 2013,
(Ardi Andrian S.H., M.H.)